Jumat, 03 Desember 2010

Sweet Death 2

Jam weker menunjukan angka 11.55 malam. Gadis itu berbaring menatap langit-langit. Dia berusaha membiarkan khayalannya terbang bebas. Setiap kali selesai dengan satu rangkaian pemikiran, dia berusaha untuk bertanya pada dirinya sendiri mengapa.

Laki-laki itu masih tertidur di sampingnya. Kelelahan sepertinya. Berjam – jam mereka berbicara mengenai mimpi – mimpi mereka. Begitu banyak pertanyaan yang mereka utarakan kemudian mereka jawab sendiri. Terkadang, baik pertanyaan maupun jawaban yang terlontar sepertinya masuk akal, tapi tidak jarang beberapa saat kemudian mereka saling bertatapan lalu tertawa karena sama – sama menyadari betapa konyol bahan pembicaraan mereka.

Dia memperhatikan wajah lelaki yang tidur itu. Dekat, sangat dekat. Senyumnya belum juga pudar sejak lelucon terakhir sebelum ia akhirnya telelap. Seorang pria baik yang tertidur dalam keadaan bahagia. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat malam padanya.

Entah mengapa gadis itu begitu mencintainya. Pada awalnya, laki – laki ini bukan seseorang yang istimewa, kecuali memang ialah orang yang selalu ada untuknya. Seperti ketika beberapa kali ia bermasalah dalam hubungannya dengan pria – pria lain. Ia selalu ada untuk melindunginya, setidaknya ia ada untuk mendengarkan keluhannya. Ia berlaku seperti seorang kakak untuknya.

Atau ketika Ibu yang sangat sangat ia cintai pergi meninggalkannya, setelah beberapa tahun terakhir hidupnya terbaring sakit, laki – laki itu ada menemaninya. Sampai ia bisa menemukan kembali dirinya.

Tapi itu lima tahun lalu. Tanpa gadis itu sadari, waktu berjalan begitu cepat, seperti saat ini ketika ia akhirnya menyadari sudah lima menit ia memandangi dekat sekali wajah lelaki yang tertidur itu.

Tepat tengah malam.

Jam weker itu berbunyi keras sekali, tepat di samping telinganya. Sampai – sampai dia kaget sekali mendengarnya. Walaupun ia tahu waktu ini akan datang, ia sepertinya marah dengan kenyataan bahwa weker itu telah berbunyi.

Sang laki – laki terbangun, kemudian duduk. Ia memakai kacamatanya lalu mengenakan jaket yang tadi tergantung di dinding. Begitu lancar ia melakukannya, seolah – olah sepertinya ia sudah terprogram untuk melakukan urutan kegiatan itu. Ia mengecup kening gadis itu dengan lembut, mengucapkan selamat malam, kemudian menuju pintu dan pergi pulang untuk menemui istri dan anaknya.

Tangan kiri gadis itu menggapai weker yang masih berdering. Setelah mematikan weker, gadis itu bangkit berkaca pada sebuah cermin, dan melihat pantulan orang yang bukan lagi dirinya, balik menatapnya.

Orang yang dilihatnya di cermin sekarang, mengingatkannya pada wanita yang dahulu pernah hadir di kehidupannya. Wanita yang mencuri dan membawa pergi ayahnya. Meninggalkan ibunya serta dirinya.

Wanita itu dan ayahnya bahkan tidak pernah muncul di pemakaman ibunya yang sakit sejak kepergian mereka.

Weker itu melayang dari genggaman gadis itu. Sampai akhirnya membentur dan memecahan cermin berkeping – keping.

Gadis itu benci melihat sosok wanita itu di cermin.

Wanita yang telah mencuri ayahnya itu hadir dalam dirinya, setiap kali ia memikirkan laki – laki yang yang saja pergi keluar dari ruangan itu.

Karena setiap kali ia memikirkan laki – laki itu, ia pasti memikirkan bagaimana ia mencintainya dan bagaimana laki – laki itu juga mencintainya.

Semakin ia memikirkan betapa besarnya cintanya pada laki – laki itu, semakin ia menginginkan laki – laki itu.

Semakin ia memikirkan kalau ia menginginkan laki – laki itu, semakin besar keinginannya untuk memiliki laki – laki itu.

Semakin ingin ia memiliki laki – laki itu, semakin ia berubah seperti wanita yang dahulu mengambil pergi ayahnya.

Semakin ia berubah menjadi wanita itu, semain ia membenci dirinya sendiri.

Semakin ia membenci dirinya sendiri, semakin besar keinginannya untuk menggoreskan pecahan kaca cermin yang berserakan di lantai.

Semakin banyak goresan ternyata, tanpa terasa, semakin banyak darah.

Cukup untuk menjadi tinta puisi yang selama ini ingin gadis itu tulis dan kirimkan kepada laki – laki itu.

Dan jika ia tidak beruntung, kemudian kehabisan darah sebelum ada orang yang menemukannya hidup – hidup, mungkin puisi ini akan jadi pesan terakhirnya bagi dunia.

Sambil berbaring, ia menuliskan pesan itu pada lantai. Semakin lama, semakin perlahan, dan perlahan...

Dalam sebuah mimpi

Dirimu akan menemukan aku

Perlahan menjadi abu dalam lautan ingatanmu”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar